Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

13 Agustus 2016

Currency Risk, More Then Earthquake Risk !


Saat ini kita menggunakan Rupiah, Dollar, Euro, Riyal dlsb. dan mengira itulah uang. Apa yang kita kenal sebagai uang ini sesungguhnya hanyalah currency atau alat tukar sesaat. Untuk menjadi uang yang sesungguhnya, sesuatu itu harus bisa memerankan tiga hal sekaligus yaitu medium of exchange, unit of account dan store of value. Rupiah, Dollar, Euro dlsb, tidak bisa memerankan ketiga fungsi tersebut karena nilainya terus menyusut. Sesuatu yang menyusut tidak bisa menjadi unit of account, apalagi store of value. Jadi apa yang bisa berperan menjadi uang yang sesungguhnya ?

Bahkan sebagai medium of exchange-pun currency manapun perlu terus diwaspadai karena selalu ada resiko sewaktu-waktu nilainya berubah total, dan ini bisa saja terjadi secara global atau yang dikenal sebagai global currency reset.

Dalam sejarah uang misalnya, berapa lama sih usia Rupiah, Dollar, Deutsche Mark-nya Jerman ? Rupiah keberadaannya kurang lebih seusia republik ini, itupun Rupiah tahun 50-60-an jelas sangat berbeda dengan Rupiah sekarang – karena tahun 1965-1966 rupiah di-reset nilainya dengan menghilangkan tiga angka nol atau saat itu dikenal dengan sanering.

Negeri adidaya teknologi seperti Jerman-pun uangnya terus berubah sejak Perang Dunia 1, Weimer Republic dan Perang Dunia II. Dan uang kebanggaan mereka Deutsche Mark-pun akhirnya berakhir dengan berlakunya Euro sekitar 15 tahun lalu.

Dollar yang perkasa hingga kini keberadaannya baru sekitar seratus tahun dan daya belinya-pun terus berubah. Dollar sekarang jelas berbeda dengan Dollar sebelum 1971 ketika Dollar mulai dilepas dari ikatannya terhadap emas.

Walhasil uang yang kita kenal adalah currency – yang hanya berlaku selama periode tertentu – dan sewaktu-waktu bisa mengalami perubahan, baik yang sifatnya gradual melalui inflasi, maupun yang sifatnya mendadak seperti devaluasi, sanering atau yang lagi ramai dibicarakan secara global sekarang adalah apa yang disebut global currency reset – yaitu resiko dadakan bila sejumlah negara tiba-tiba harus menurunkan atau mengubah daya beli uangnya.

Apa resiko yang bisa menimpa kita bila ini terjadi ? Di negeri ini setidaknya kita sudah pernah mengalaminya dua kali. Yaitu ketika terjadi sanering 1965/1966 dan ketika daya beli uang kita turun tinggal ¼-nya terhadap Dollar dan mata uang kuta lainnya pada krisis moneter 1997/1998.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa resiko currency reset secara global memang ada, dan resikonya bahkan lebih besar dari resiko gempa bumi baik dari sisi severity maupun dari sisi frequency-nya.

Di ilmu saya yang lama – ketika membuat produk asuransi gempa bumi – misalnya. Produk ini sangat laris dan hampir semua gedung bertingkat di Jakarta dan kota-kota besar pasti membelinya. Bisa karena kesadaran sendiri, atau karena diharuskan oleh bank yang membiayai gedung-gedung tersebut – yang semuanya takut akan resiko gempa bumi.

Bagaimana industri asuransi menyiapkan proteksi-nya agar bila terjadi sesuatu yang sangat besar mereka tetap bisa membayarnya ? Mereka bekerjasama dengan berbagai industri asuransi dan reasuransi dalam dan luar negeri untuk menyediakan proteksi dengan nilai yang diperkirakan cukup. Berapa nilai yang dianggap cukup itu ?

Mereka membuat skenario berdasarkan frequency – kemungkinan terjadinya suatu resiko, dan berdasarkan severity – tingkat kerusakan bila resiko itu bener-bener terjadi. Frequency yang diambil biasanya atas gempa bumi dalam siklus tertentu seperti siklus 100 tahunan dst. Sedangkan severity, biasanya diambil dalam persentase kerusakan tertentu misalnya 15 % -30 %.

Semakin tinggi frequency (semakin dekat dari satu kejadian ke kejadian lainnya) dan semakin tinggi severity – akan melonjakkan biaya asuransi atau yang dikenal sebagai premi.

Nah sekarang dengan teori resiko tersebut, bagaimana kalau kita terapkan terhadap resiko yang kita hadapi berupa currency reset, devaluasi, sanering atau apapun namanya ? Dalam 50 tahun terakhir kita mengalami dua kali kejadian yaitu sanering 1965/1966 dan krismon 1997/1998. Artinya frequency rata-rata kita sekitar 25 tahun-an  atau jauh lebih cepat dari frequency gempa bumi yang digunakan dasar perhitungan di industri asuransi !

Dari sisi severity, tidak terhitung kerugian kita ketika uang Rp 1,000 kita menjadi uang Rp 1,- seperti tahun 1965/1966. Yang lebih mudah dihitung adalah ketika property gedung-gedung di Indonesia pada umumnya, nilainya dalam Dollar turun menjadi sekitar ¼-nya pada tahun 1997/1998. Artinya kerugian dalam Dollar yang dialami para pemilik gedung tersebut adalah 75% saat itu ! lagi-lagi jauh lebih tinggi dari PML (Possible Maximum Loss)-nya gempa bumi dasyat yang diperkirakan di kisaran 15% - 30 % tingkat kerusakan !

Gedung-gedung tersebut memang akhirnya masih exist tegak berdiri, tetapi pemilik gedung atau pemilik usahanya bahkan telah begitu banyak yang pindah ke tangan-tangan asing yang uangnya tidak ter-devaluasi seperti yang kita alami tahun 1997/1998.

Para pemilik gedung atau bangunan bisa membeli produk asuransi untuk memproteksi resiko gempa bumi. Tetapi apakah mereka bisa memproteksi terhadap resiko yang lebih dasyat dari gempa bumi tersebut ?

Ternyata mayoritas kita tidak aware masalah resiko yang sangat besar berupa potensi hilangnya daya beli kita sewaktu-waktu ini. Padahal bila mengambil frequency resiko kita yang berulang di kisaran angka 25 tahun tersebut, kini kita sudah berjalan mendekati  20 tahun sejak 1997  - artinya resiko besar itu bisa saja mengancam kita dalam kisaran lima tahun lagi !

So what ? what we can do ? beli asuransi ? – tidak ada yang mampu menyediakan proteksi untuk currency risk ini. Tetapi Alhamdulillah kita diberi solusi olehNya langsung.

5 Silver Dirham
Yaitu uang kita namanya disebutkan di Al-Qur’an yaitu Dinar emas di surat Ali Imron ayat 75,  dan Dirham perak yang disebut di dua ayat yaitu di Surat Yusuf ayat 20 dan tepat di tengah-tengah Al-Qur’an di surat Al-Kahfi ayat 19. Tidak hanya emas dan perak, uang kita bisa berupa benda-benda riil yang kita butuhkan sehari-hari. Perhatikan hadits berikut :

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras gandum dengan beras gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dari tangan ke tangan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau mempertukarkannya sesukamu, sejauh  dilakukan dari tangan ke tangan (tunai)” (HR. Muslim)

Jadi kita tidak perlu membeli asuransi untuk menghadapi currency risk yang lebih dasyat dari gempa bumi, ayat dan hadits tersebut di atas adalah solusinya. Solusi itu ada di Dinar emas, Dirham perak, bahan pangan kita, bibit-bibit tanaman kita dan segala kebutuhan kita lainnya yang memang membawa nilai intrinsic-nya masing-masing – true value yang tidak akan terpengaruh oleh nilai currency.

Dan ini juga terbukti di jaman ini, ketika terjadi krisis financial hebat di Argentina tahun 2001 masyarakatnya mengembangkan kearifan lokal dengan menanam apa saja di halaman rumahnya. Hasilnya kemudian bisa di-barter dengan kebutuhan lain dengan masyarakat lainnya. Ketika tahun 2014 krisis yang sama berulang di negeri tersebut, masyarakat sudah pengalaman dalam mensikapinya.

Apakah kita siap bila krisis yang sama tahun 1997/1998 berulang di kita ? Dengan membaca tulisan inipun dan kemudian menindak lanjutinya dengan langkah konkrit di sini dan saat ini juga, maka insyaAllah kita juga siap !

28 Juni 2016

BREXIT : Bukti Fitrahnya Mata Uang Dinar dan Dirham


De Ja Vu, seperti mengulang kejadian bulan Ramadhan 8 tahun lalu,banyak orang yang menanyakan apa yang terjadi dengan harga emas, mengapa tiba-tiba melonjak dlsb. Kali ini hal yang sama berulang, hanya  penyebabnya yang berbeda, kalau 8 tahun lalu penyebabnya adalah krisis di Amerika – kali ini krisis di Inggris. Setiap ada krisis orang kembali ke emas dan perak, bukankah ini message yang paling jelas sebenarnya ?

Bahwa mata uang yang fitrah itu sesungguhnya harus emas dan perak, dua mata uang yang namanya disebut di Al-Qur’an. Emas  atau Dinar namanya disebut di surat Ali Imron ayat 75 :

Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang umi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.” (QS 3:75)

Sedangkan Dirham disebut di Surat Yusuf ayat 20   :

Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa Dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (QS 12:20)

Fitrahnya emas (Dinar) dan perak (Dirham) itu seperti fitrahnya manusia yang ketika berada dalam ketakutan yang sangat - seorang atheis sekalipun akan berdo’a kepada Tuhan yang tidak pernah dikenalnya – mohon pertolongan. Kemana saja dia ketika tidak sedang dalam bahaya ?

Demikian pula dengan mata uang, ketika tidak dalam kondisi krisis semua bisa membanggakan kekuatannya masing-masing. Tetapi mata uang yang paling mahal selama ini – yaitu British Pound Sterling -pun lunglai dalam semalam ketika hasil referendum negeri itu – ternyata mayoritas masyarakatnya ingin keluar dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan BREXIT.

Maka dalam semalam  saja GBP sudah kehilangan 7 persen nilainya terhadap mata uang lain yaitu Dollar Amerika. Sebaliknya pada waktu yang sama orang lari ke emas, yang dampak dari melonjaknya demand tiba-tiba ini mengakibatkan emas naik lebih dari 3 persen.

Bila tahun 2008 krisis itu di-trigger oleh berbagai istilah asing yang bagi masyarakat awam seperti kita, saat itu tiba-tiba kita kenal dengan CDO (Collateralized Debt Obligations), CDS (Credit Default Swaps) dlsb. Krisis kali ini tiba-tiba kita kenal BREXIT yaitu Brtish Exit dari Uni Eropa.

Penyebabnya bisa dari dua negeri yang berbeda dan dua alsan yang berbeda pula. Krisis 2008 awalnya adalah housing buble di Amerika, sedangkan kali ini awalnya adalah keputusan rakyat Inggris yang merasa lebih baik bagi mereka bila keluar dari Uni Eropa. Tetapi dampaknya sama, dalam arti memberikan ketidak pastian yang luar biasa bagi seluruh ekonomi dunia.

Yang perlu kita waspadai sekaligus juga belajar dari krisis 2008 di Amerika adalah perlu 2-3 tahun untuk recovery, bahkan sebagian negara seperti negara-negara Eropa Selatan yang belum pulih benar sampai kini – setelah 8 tahun ditrigger krisis AS tersebut di atas,  krisis yang ditrigger oleh BREXIT tersebut juga bisa panjang.

Bagi kita sebenarnya solusi itu simple, ada atau tidak ada krisis kita tinggal menggunakan Dinar dan Dirham yang namanya memang disebut di Al-Qur’an - yang tanpa terasa pula telah exist ditengah-tengah kita lebih dari 8 tahun ini melewati perjalanan waktu dari krisis ke krisis.

Yang sudah menggunakannya selama 8 tahun ini, tentu juga sudah merasakannya – bagaimana Dinar dan Dirham menjadi proteksi bagi jerih payah Anda. Yang belum mungkin waktunya terbaik adalah sekarang, amankan paling tidak tunjangan lebaran Anda dari gerusan nilai mata uang – yang penyebabnyapun nun jauh disana BREXIT – seperti makhuk yang tadinya tidak kita kenal tetapi bisa tiba-tiba mencuri trilyunan Dollar aset-aset kertas dunia (termasuk mata uang kertas) – dalam berbagai gelombang kejatuhan nilai mata uang dan bursa saham dunia.


Maka seperti seorang captain pilot yang akan terbang memasuki daerah berawan, dari cockpit dia mengumumkan agar para penumpangnya memasang sabuk pengaman – seperti itulah tulisan ini berfungsi, mengingatkan kita semua untuk hold proteksi nilai kita – agar guncangan BREXIT ini tidak sampai mengganggu jerih payah kita di sini. Insya Allah.

21 Februari 2015

Penuhi Tabunganmu dengan Dinar

Oleh : Endy Kurniawan

Dengan bahan instrinsik emas, Dinar bertabiat sama dengan emas itu sendiri. Nilainya tetap sejak jaman Rasulullah SAW 14 abad yang lalu, yakni 1 Dinar mampu membeli seekor kambing hingga saat ini. Ini juga sejalan dengan fakta sejarah dimana emas dalam kondisi naik dan turun yang seimbang dengan pergerakan harga seluruh komoditas utama di muka bumi, seperti minyak dan bahan pokok lain.

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW : “Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata : Saya mendengar penduduk bercerita tentang ‘Urwah, bahwa Nabi SAW memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambiing untuk beliau; lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor kambing, Nabi SAW mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya ‘seandainya Urwah membeli tanah pun, ia pasti beruntung” (HR Bukhari)

Interpretasi sederhana hadits diatas adalah bahwa tak mungkin Rasulullah SAW yang adil memberikan bekal uang yang tak mencukupi untuk membeli 1 ekor kambing. Beliau tahu harga pasar untuk seekor kambing adalah 1 Dinar. Urwah adalah orang yang cakap berdagang, sehingga dia bisa mendapatkan 2 ekor kambing dengan 1 Dinar itu, kemudian menjual kembali 1 kambing tersebut dengan harga 1 Dinar. Jadi seharusnya 1 Dinar akan habis untuk membeli 1 kambing, Urwah malah membawa 1 kambing dan 1 Dinar. Itu sebabnya Rasul SAW memuji dan mendoakan kemampuannya dalam berdagang itu.

Umat Islam sendiri mungkin telah lalai dengan catatan emas masa lalunya, termasuk di dalamnya kedigdayaan ekonomi yang ditopang oleh Dinar sebagai alat tukar. Sejak jaman Nabi Muhammad SAW hingga Dinasti Ustmani tak sampai seabad lalu, Islam hanya mengenal uang emas dan perak, uang kertas tak dikenal sama sekali. Uang kertas yang ada sekarang bukanlah produk peradaban Islam. Karena itu, wajar apabila terjadi krisis di mana-mana.

Dinar dan Dirham pada jaman Rasulullah telah mulai digunakan meski tak ada standarisasi bentuk dan cetakannya, dan digunakan untuk transaksi dengan nilai yang sama dengan barang yang dijual belikan. Pada jaman khalifah Umar ibn Khattab, Dirham yang diadopsi dari Persia dan Dinar dari Romawi kemudian dicetak secara khusus sebagai unit of account oleh negara, dengan standar yang kita kenal hingga sekarang yaitu : Dinar Emas adalah 4,25 gram emas 22 Karat dan Dirham adalah perak murni dengan berat 2,975 gram.

Dengan berbagai pasang surut, Dinar dan Dirham digunakan dalam silih bergantinya kehalifahan Islam. Dan ekonomi di negeri-negeri Islam berjalan baik. Bahkan pada tahun 774, Inggris menggunakan mata uang pertamanya yang merupakan jiplakan langsung dari Dinar Islam lengkap dengan tulisan LAA ILAAHA ILLALLAH, MUHAMMAD RASULULLAH, kecuali ada tulisan OFFA REX pada satu sisinya. Waktu itu Inggris dipimpin Raja Offa. Inilah fase ketika Islam menjadi cahaya penerang bangsa-bangsa, seluruh konsep ekonomi diadopsi mentah-mentah oleh barat.

Hingga babak terakhir berkuasanya peradaban Islam misalnya, dunia masih mencatat bahwa Kekhalifahan Turki Ustmani yang berdiri sejaman dengan Inggris sebagai wakil dunia barat, lebih mampu mempertahankan stabilitas harga. Ini jelas membuktikan bahwa selain sistem ekonomi yang bebas riba, mata uang yang yang dipakai dunia Islam yaitu Dinar (emas) dan Dirham (perak) memiliki stabilitas daya beli yang baik.

Dengan demikian, hijrah kembali ke Dinar dan Dirham saat ini bisa bermakna ganda, yaitu secara ekonomis maupun secara dakwah, karena ada kepentingan syiar Islam di dalamnya.

Pertama, secara ekonomis, karena emas yang menjadi kandungan utama Dinar maupun perak untuk Dirham adalah logam berharga dan mulia, sehingga memiliki atau menyimpannya berarti investasi dengan mengharapkan berlipatnya nilai keuntungan, sekaligus hedging / melindungi nilai harta kita dari kikisan virus-virus keuangan seperti inflasi dan turunnya nilai tukar terhadap mata uang asing. 

Kedua, kepentingan dakwah / syiar, karena bagian dari upaya kembali ke kemurnian dan keaslian Islam itu sendiri. Menyimpan harta dalam bentuk Dinar dan Dirham adalah bagian dari persiapan menyambut kembalinya kejayaan Islam, dengan praktek-praktek ekonomi yang syar’i di dalamnya. Salah satunya adalah penggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat tukar.

Sembari menyambut datangnya waktu suatu saat nanti Dinar menjadi alat tukar (medium of exchange), maka sekarang yang bisa kita lakukan adalah menjadikan Dinar sebagai unit of account dan store of value.

30 Desember 2014

Mungkinkah Uang Kertas Punah? (2)

Oleh : @endykurniawan

Kabar baik bagi kita adalah dari seluruh emas yang telah ditambang di muka bumi yakni sekitar 150.000 – 160.000 ton, 70% – 90% dikuasai swasta, termasuk individu/ perorangan. World Gold Council menyebut angka sekitar 100.000 ton emas dikuasai swasta, pada 2005. Sementara sisanya dikuasai oleh 109 negara sebagai cadangan di bank sentral-nya. Laporan lembaga yang sama pada September 2010 menyebutkan jumlahnya sekitar 27.000 ton. Sebagaimana tulisan pada bagian pertama, penguasaan mayoritas stok emas dunia oleh non-pemerintahan ini adalah salah satu sebab mengapa kembalinya gold-standard sebagaimana era Bretton Woods diprediksi sulit terwujud. Menurut Martin Wolf, analis ekonomi senior The Financial Times, proses akuisisi emas masyarakat ini akan memakan berbagai macam biaya yang luar biasa dan bisa menimbulkan kekacauan.

Jauh lebih mungkin, jika saatnya tiba, terjadi pertukaran langsung emas-emas simpanan masyarakat untuk transaksi sehari-hari. Jumlah 100.000 ton yang beredar adalah jumlah yang sangat banyak. Seandainya pun tak dalam bentuk koin yang standard, masyarakat cukup menggunakan emas dalam bentuk apapun, disertai timbangan untuk pengukur berat. Praktek ini sebagaimana jaman awal Rasulullah SAW bertransaksi menggunakan emas, alat transaksinya adalah emas dalam berbagai bentuk (koin, lempengan/ tibr) dan telah mencukupi. Kita tahu, emas adalah bahasa transaksi universal. Kita pernah bahas sebelumnya, salah satu item survival kit pilot tempur Amerika adalah sepotong emas. Kawan saya Ahmad Gozali, ketika sesi workshop investasi emas sering menyampaikan penggalan sebuah film dengan setting di sebuah negara komunis. Prajurit Amerika yang perlu tumpangan tak bisa membayarnya dengan US Dollar karena penduduk setempat tak tertarik mata uang asing itu. Tapi deal terjadi setelah si agen bersedia membayarnya dengan jam tangan terkenal berlapis emas.

Selama 1500 tahun kejayaan Islam menerangi bumi, ekonomi kekhalifahan berada di standar yang sangat tinggi. Bahkan menjelang rapuh dan runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani sekalipun, indeks harga dan kesejahteraan warga negaranya masih lebih baik dari Inggris yang berdiri sejaman. Kemanapun reformasi moneter ini membawa nanti, kita perlu bersiap diri dari kini. Perhatikan grafik 10 besar penguasa emas dunia pada gambar. Dari 10 negara yang memiliki cadangan emas terbesar, hanya 3 negara yaitu China, Rusia dan Amerika sendiri yang juga merupakan 10 besar negara penghasil emas. Selebihnya adalah negara-negara barat non-produsen emas, yang dengan disiplin dan kesadaran penuh, mereka tahu tapi diam-diam saja, justru menyimpan harta hakiki itu dalam dekapan negaranya, meskipun dalam keseharian mereka terlihat sibuk mengkampanyekan anti-gold standard.

Kita juga bisa menyimpulkan satu hal yakni kecilnya kesadaran negara-negara penghasil emas utama untuk mempertahankan emas yang ditambang dan diolah di negaranya sendiri, sehingga tak cukup menyimpan untuk pertahanan ekonomi negaranya. Mereka memilih untuk menjadi penambang dan eksportir, tapi tak menjadikan emas sebagai cadangan ekonomi negaranya, kecuali sedikit saja. Negeri ini seharusnya memberi penghargaan kepada masyarakat yang secara individual berupaya menyimpan emas di rumah tangganya masing-masing, yang jika dijumlahkan akan menghasilkan angka simpanan emas yang sangat besar dan mengindikasikan ketahanan ekonomi riil masyarakat Indonesia.

Seandainya warga negara yang hidup di atas ambang kemiskinan (artinya secara ekonomi cukup mampu) yaitu 70% dari total penduduk Indonesia memiliki 1 gram emas, maka jumlah emas minimal yang dimiliki rakyat Indonesia berjumlah 168 ton. Angka ini telah 2 kali lipat lebih dibanding cadangan emas yang dimiliki bank sentral. Seandainya 1 orang menguasai 1 Dinar (emas dengan berat 4.25 gram), maka cadangan emas yang berada di kantung masyarakat Indonesia berjumlah 714 ton. Dijumlahkan dengan cadangan devisa Bank Indonesia yang sekitar 75 ton, maka Indonesia akan berada di posisi ke-8 penyimpan emas mengalahkan Jepang.

Sosialisasi penguasaan emas ke tangan masyarakat ini, bagi saya pribadi, adalah upaya pertahanan sekaligus persiapan menyongsong masa depan. Pertahanan untuk melindungi harta dan asset masyarakat. Persiapan masa depan untuk sebuah reformasi (mungkin juga revolusi, perubahan radikal) sistem moneter dunia dengan medium emas, juga perak. Seluruh negara dan masyarakat negara lain, secara terbuka maupun diam-diam melakukannya dengan penuh kesadaran. Sebagai negara dengan cadangan emas melimpah, mengapa kita tidak melakukan hal serupa? Dengan jumlah cadangan emas yang memadai, ekonomi negeri kita punya sandaran hakiki, layak adu tanding dengan dengan negara-negara ekonomi kuat lainnya. Ini jadi modal yang cukup untuk menopang prediksi banyak riset yang menunjukkan Indonesia akan berada dalam posisi 10 besar ekonomi terkuat dunia pada 2020 dan 5 besar pada 2030.

19 Desember 2014

Mungkinkah Uang Kertas Punah? (1)

Oleh : endykurniawan

Berapa banyak uang beredar di muka bumi? Laporan McKinsey Global Institute pada 2008 menyebut angka USD 61.000 Trilyun. Berapa nilai emas yang ada di muka bumi? Sekitar USD 1.300 Trilyun. Tak di-mention dengan rupiah karena sulit menuliskan satuannya. Terlalu panjang angka nolnya. Dua angka tersebut membawa kita ke masa 1944 – 1971 dimana Gold Standard diberlakukan dengan payung Bretton Woods Agreement. Kala itu dimana 35 Dollar yang dicetak/dikeluarkan bank sentral Amerika haruslah dengan backup 1 troy ounce emas, uang yang beredar adalah kurang lebih sama dengan nilai emas yang ada di bank sentral di seluruh dunia.

Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing. Akibatnya adalah keuntungan dinikmati si pencetak reserved currency (USD). Stagnansi ekonomi yang mereka alami, sebagaimana terjadi sekarang dimana produksi dan konsumsi dalam negerinya mandeg, yang kemudian membuat mereka mencetak uang baru, hanya (mungkin) menguntungkan di sisi mereka. Mungkin, karena belum tentu stimulus ini berhasil mengangkat ekonomi dalam negerinya. Yang justru pasti adalah seluruh negara berlomba menurunkan nilai mata uangnya demi bisa bersaing untuk pasar ekspornya. Yang pasti lagi adalah membuka kemungkinan hyperinlasi terjadi di negara-negara berkembang yang tak tahu menahu, bahkan mungkin tak terlibat awalnya dengan pertarungan ekonomi tingkat tinggi tersebut. Yang jadi korbannya adalah kesejahteraan masyarakat di negara berkembang, karena hyperinlasi berarti menurunnya daya beli uang simpanan mereka sebanyak 2 digit persen.

Selain itu, biaya 4 sen Dollar (atau 0.04 Dollar) untuk mencetak setiap lembar USD itu pun bermakna perampokan. Stempel berapapun bisa dicantumkan di lembaran uang kertas, lalu dibuat untuk membeli lebih banyak asset di negara-negara miskin atau berkembang. Untuk membeli sebuah perusahaan teknologi di Indonesia dengan nilai Rp 5 Trilyun, hanya perlu mencetak uang pecahan USD sebanyak 5,61 juta lembar dengan biaya 4 sen x 5,61 juta = USD 22 juta sen, atau sama dengan USD 220.000. Disini praktek SEIGNORAGE bekerja. Untuk membeli perusahaan senilai Rp 5 Trilyun, produsen USD hanya perlu Rp 1,9 Milyar biaya cetak uang.

Data tentang nilai uang riil (yaitu emas) vs nilai uang (kertas) yang ada sekarang itulah yang membuat banyak ekonom meragukan Bretton Woods jilid II yang diwacanakan Robert Zoellick, mantan bos World Bank, mustahil terlaksana. Karena jumlah uang beredar sudah sedemikian besar melebihi yang seharusnya, implementasi Gold Standard Currency seperti pernah dipraktekkan dulu akan membawa kompleksitas sistem global. Simpanan setiap bank sentral juga tak seimbang. Semenjak Perang Dunia I, Amerika lah yang menyimpan emas paling banyak. Dengan situasi ini, harus ada negara yang rela seluruh harga barangnya naik. Di sisi lain, harus ada sebagian negara yang harus bersedia seluruh harganya diturunkan. Reposisi dan keseimbangan baru itu akan berbiaya sosial sangat besar, melibatkan seluruh negara dan masyarakat di dalamnya.

Salah satu sebab lain Bretton Woods sulit dijalankan adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh bank sentral untuk mengumpulkan emas domestik maupun internasional (sebagai backup pencetakan uang dengan standar emas) akan sangat besar. Dengan sistem ini, maka pemilik emas akan menjual emasnya kepada bank sentral, yang jelas memerlukan lebih banyak backup untuk pencetakan uang baru. Biayanya akan sangat besar, dan karena permintaan meningkat drastis, harga emas akan melonjak sangat tinggi. Ujungnya, pemilik emas bisa menilai harga yang ditetapkan tak setinggi yang seharusnya dan mereka memilih menyimpan saja emas-emas yang telah dimiliki. Wajar, karena sejak semula, emas adalah penakar nilai dan alat tukar yang universal, maka penyimpan emas merasa lebih safe dan untung jika menyimpan emas untuk melindungi asetnya juga untuk membeli barang kebutuhan. Pada titik ini terjadi kekacauan dan orang tak memerlukan lagi uang kertas, dan dunia kembali pada masa dimana emaslah yang menjadi alat transaksi. Inilah masa pada periode dengan rentang 1.500 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan khalifah Umar ibn Khattab hingga runtuhnya kedaulatan Islam pada masa Turki Ustmani.

Uraian diatas dituliskan dengan gamblang oleh Martin Wolf, kontributor The Economist, seorang Profesor di University of Nottingham yang juga Chief Economics Commentator di Financial Times – London. Pada sebuah tulisannya, ia mengutip juga pernyataan Bennett McCallum dari Carnegie Mellon University yang menyatakan bahwa kesadaran kembali ke alat tukar berupa emas (sebagaimana pada tahun-tahun sebelum 1930-an) diawali dengan tingkat pemahaman agama/ religiusitas yang cukup tinggi. Karena hanya ajaran agama saja yang memberikan penjelasan bahwa “nilai emas tidak pernah berubah, ia tetap dan terjaga selamanya’ (the price of gold should not be varied but should maintained, forever).

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.